BERDOA TANPA JEMU-JEMU
Dalam tradisi hukum Yahudi seorang janda memiliki hak-hak khusus. Ada larangan untuk menindas para janda atau anak yatim (Kel 22:22). Hal tersebut juga ditegaskan dalam Kitab Ulangan 24:17, “Janganlah engkau memperkosa hak orang asing dan anak Yatim; juga janganlah engkau mengambil pakaian seorang janda menjadi gadai”. Melalui latar belakang ini Yesus menggunakan kisah janda dan hakim untuk menegaskan bahwa para murid harus selalu berdoa tidak jemu-jemu.
Disebutkan dalam Injil Lukas 8:1-8 ada seorang hakim yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati siapapun. Ini merupakan prinsip obyektif seorang hakim dalam mengambil keputusan berdasarkan keadilan yang bijaksana. Dia tidak mengambil keputusan berdasarkan hukum agama dan perintah Allah maupun tekanan dari siapapun. Dia tidak bisa disuap atau ditakuti-takuti. Hakim yang baik. Sementara itu, ada seorang janda yang sedang berseteru dengan seseorang yang lebih kuat daripadanya. Janda ini tidak memiliki kekuatan apapun untuk menghadapi lawannya itu. Ia dalam posisi yang lemah, rendah dan tidak memiliki suami yang bisa membelanya. Jelas sekali bahwa janda ini akan berharap penuh kepada sang hakim yang dapat membelanya. Harapan itu diungkapkan dengan selalu datang memohon bantuan sang hakim. Hakim yang merasa tidak bisa dipengaruhi oleh siapapun pun tergerak hatinya oleh karena “gangguan” sang janda. Jika hakim yang seperti itu pun akan tergerak hatinya, pun Allah akan berbuat lebih dari itu bagi mereka yang berseru kepadanya. Demikian Yesus mengakhiri perumpamaannya.
Harapan yang sama ditampakkan oleh bangsa Israel saat mereka diserang oleh orang-orang Amalek (bac. 1 Kel 17:8-13). Musa mengangkat tangannya sebagai simbol doa memohon bantuan dari Allah. Sepanjang Musa mengangkat tangannya Israel menjadi lebih kuat daripada lawannya. Ketika Musa lelah, Harun dan Hur datang membantu menopang tangannya.
Saudara-saudari terkasih, dalam saat-saat tertentu kita pernah dalam posisi dan situasi sang janda ini. Kita sedang dihadapkan dengan banyak “lawan”, yang seringkali datang tanpa diundang, atau juga karena kesalahan kita sendiri. Pada situasi seperti ini, sungguhkah hati kita terus menerus memohon pertolongan kepada Allah? Tetap percaya dan berharap kepadanya, meski waktu-Nya tidak sejalan dengan waktu kita? Semoga doa dan harapan yang tanpa jemu ini semakin memperdalam iman kita. Tuhan memberkati.
Rm. Reynaldo Antoni, Pr