BERDAMAI = MENERIMA
Minggu ini kita memasuki Minggu Adven kedua. Bersama dengan Yohanes Pembaptis, Rasul Paulus dan Nabi Yesaya, kita diajak untuk semakin bersungguh-sungguh mempersiapkan diri menyambut kedatangan Tuhan. Dalam bacaan pertama, Nabi Yesaya menggambarkan situasi baru yang hadir saat kedatangan Dia yang disebut “tunas yang keluar dari tunggul Isai”. Dia akan bertindak sebagai hakim pada akhir zaman dan memimpin sebuah zaman yang baru: Sebuah zaman yang dipenuhi dengan kedamaian dan ketenteraman. Disimbolkan dengan kisah fabel yang sangat indah, “Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama dan seorang anak kecil akan menggiringnya”. Tidak ada lagi yang berbuat jahat dan berlaku busuk. Semuanya hidup bersama, berdampingan menerima satu sama lain.
Sementara itu, Rasul Paulus dalam bacaan kedua menulis surat kepada orang-orang non-Yahudi di Roma. Dalam suratnya yang kita dengar dalam bacaan kedua ini Paulus berdoa demikian, “Semoga Allah, sumber ketekunan dan penghiburan, mengaruniakan kerukunan kepada kamu, sesuai dengan kehendak Kristus Yesus sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan Kita, Yesus Kristus.” Paulus berdoa bagi jemaat di Roma mereka akan menjadi rukun. Namun, apakah dengan doa itu cukup? Paulus melanjutkan lagi meminta agar jemaat di Roma menerima satu sama lain seperti yang diteladankan Yesus juga menerima mereka (orang non Yahudi) untuk keselamatan. Melalui permintaan Paulus ini kita bisa menduga jemaat Roma saat itu sedang mengalami masalah kerukunan antar individu maupun antar kelompok.
Saudara-saudari terkasih, menjelang natal ini setiap dari kita diajak mempersiapkan diri untuk melakukan pertobatan. Tindakan ini ditandai dalam penerimaan Sakramen Tobat. Seruan pertobatan ini sudah diteriakkan bahkan oleh Yohanes Pembaptis. “Bertobatlah sebab Kerajaan Surga sudah dekat!”. Buah pertobatan kita yang paling utama adalah kerukunan dan kedamaian dengan segala pihak. Berdamai adalah mau menerima kehadiran yang lain, mulai dari berdamai dengan diri sendiri. Menerima diri kita sendiri sebagaimana adanya. Menerima orang-orang di sekitar kita. Terutama menerima kehendak Allah yang terjadi yang kita yakini baik adanya. Atau jangan-jangan pertobatan kita hanya sekedar di mulut saja, namun menjadi sulit untuk menerima kembali: diri kita sendiri, mereka, atau kehendak Allah yang tidak sesuai dengan keinginan kita.
Tuhan memberkati.
Rm. Reynaldo Antoni H, Pr.