PEREMPUAN DAN TUJUH SUAMINYA

Lukas 20:27-38

 

Pada jaman Perjanjian Lama, beberapa hal yang dianggap sebagai bukti bahwa seseorang hidupnya diberkati Allah yaitu mempunyai keturunan, kemakmuran melimpah dan umur yang panjang. Keyakinan tersebut menjadi pangkal kesedihan bagi banyak orang sebab tidak semua orang beruntung dalam hidupnya dapat meraih anugerah-anugerah itu. Ada orang yang hidupnya baik dan lurus, tapi justru terjerat dalam kemiskinan. Ada orang yang muda dengan memiliki masa depan yang cerah, tapi tiba-tiba meninggal akibat penyakit. Dan masih banyak lagi. Apakah mereka itu orang-orang yang tidak diberkati Tuhan?

Pada jaman itu memang diyakini bahwa kehidupan ini hanya berlangsung selama hidup di dunia ini. Sesudah kematian, hidup seorang manusia berakhir begitu saja, selesai. Keyakinan semacam itu lama kelamaan tidak memuaskan karena dengan begitu hidup tidak akan adil bagi banyak orang, terutama orang-orang yang miskin, lemah dan tertindas. Memang sangat menyesakkan dan menyedihkan bahwa nasib orang baik dan orang jahat pada akhirnya bernasib sama, yaitu alam maut yang gelap.

Dalam injil Lukas 20:27-38 ini nampaknya ditampilkan sebuah jebakan oleh orang-orang Saduki yang ditujukan buat Yesus. Mereka melontarkan pertanyaan tentang kehidupan sesudah kematian, yaitu adanya kebangkitan. Perlu dipahami, orang-orang  Saduki (dari kata Zadok) pada jaman Yesus adalah kelompok kelas atas yang terdiri dari para imam dan awam yang kaya raya. Mereka membanggakan diri sebagai keturunan Imam Zadok, keturunan Harun, pada jaman Daud. Kaum Saduk tidak percaya akan adanya kebangkitan. Alasannya sederhana yaitu mereka memegang teguh kitab Taurat Musa yang secara eksplisit tidak berbicara tentang kebangkitan. Oleh karena itu mereka menolak gagasan tentang kebangkitan.

Pertanyaan orang-orang Saduki itu dikemas dalam perumpamaan seorang perempuan dan 7 orang bersaudara, yang semuanya menjadi suaminya. Alkisah ketujuh orang bersaudara itu kawin dengan seorang perempuan itu mati tanpa meninggalkan keturunan. Memang menurut ketentuan hukum yang berlaku, perkawinan dengan ipar bertujuan untuk nama seseorang agar tidak hilang begitu saja karena tidak memiliki keturunan. Pertanyaan yang muncul bagi orang  Saduki adalah nanti di alam kebangkitan, siapa yang akan disebut sebagai suami perempuan itu? Apakah ke 7 orang laki-laki itu sekaligus?

Pertanyaan yang berupa perumpamaan yang diajukan oleh orang Saduki itu nampaknya terdengar masuk akal meski jelas-jelas kisahnya lebay atau berlebihan. Menurut penelitian, pada jaman Yesus praktek hukum semacam itu sudah tidak berlaku lagi atau tidak dipraktekan.

Yesus menjawab jebakan orang Saduki itu dengan mengatakan bahwa dalam alam kebangkitan sangat berbeda dengan dunia tempat kita hidup sekarang. Gagasan yang diajukan oleh orang Saduki itu adala gagasan yang sifatnya duniawi. Pasti hal itu tidak cocok dengan alam kebangkitan.

Apa yang bisa kita jadikan pegangan dari kutipan injil Lukas ini? Pada jaman sekarang kita mendengar bahwa hampir semua agama menerima gagasan adanya kebangkitan sesudah kematian. Namun walaupun kita menerima gagasan tersebut, masih dirasakan adanya pertanyaan yaitu bagaimana bentuk pasti alam kebangkitan itu?

Sejak kecil melalui agama kita diajarkan perihal adanya surga dan neraka. Apakah surga dan neraka yang kelak menjadi tempat tinggal kita setelah kematian? Hal itu sangat bergantung pada sikap dan tingkah laku kita saat kita hidup di dunia ini.

Maka pesan injil Lukas ini mengajak kita bukan pada soal surga dan neraka, tetapi mengajak kita untuk hidup dengan baik. Gagasan tentang kebangkitan mengarahkan kita pada perjuangan untuk hidup berdasarkan nilai-nilai positif, melakukan perbuatan baik, berdoa dan mendekatkan diri pada Allah serta menjauhkan kejahatan-kejahatan dan perbuatan dosa.

Mari kita hidup dan berlaku kudus di hadapan Allah.

 

Rm. A. Yus Noron, Pr.